tirto.id - Jadi superhero konon sulit. Anda dituntut selalu peka terhadap keadaan di sekitar. Kejahatan bisa muncul kapan saja, di mana saja, dan Anda mesti bersiap membasminya. Mau tak mau, suka tak suka, Anda seperti punya kewajiban melakukannya, sewajib pihak berwajib.
Itu baru yang nampak di permukaan. Belum ketika, katakanlah, Anda harus mengorbankan kehidupan pribadi yang adem ayem. Anda mesti memelihara persona baru yang mungkin sulit Anda ketahui sendiri dengan pasti karena tak lahir bersamanya.
Inilah yang dialami Sancaka, identitas asli dari superhero lokal bernama Gundala (diperankan Abimana Aryasatya) dalam film Joko Anwar terbaru Gundala: Negeri Ini Butuh Patriot (selanjutnya Gundala).
Sancaka sebetulnya orang biasa sebelum disambar petir dan mendapatkan kekuatan super. Sejak itu, Sancaka punya kesadaran lebih besar akan kondisi masyarakatnya yang serba pelik berkat berkuasanya para bandit. Ia merasa memikul tanggung jawab yang luar biasa berat, sekaligus tak yakin mampu menuntaskannya.
Anak-Anak dan Trauma
Kisah
Gundala diangkat dari adaptasi komik karya Harya Suraminata (akrab disapa Hasmi) berjudul
Gundala Putra Petir. Namun, dalam versi film,
Gundala punya cerita yang jauh berbeda dibanding dengan versi komiknya.
Di komik Hasmi, Sancaka adalah seorang peneliti jenius yang mencari serum anti-petir. Saking ambisiusnya, Sancaka digambarkan larut dalam eksperimen sampai-sampai hubungan dengan sang kekasih ambyar. Sancaka patah hati. Sebagai pelampiasannya, ia berlari di tengah hujan deras—entah menangis atau tidak—dan tersambar petir.
Sejak itu, Sancaka punya kekuatan super dari Penguasa Kerajaan Petir, Kaisar Kronz, dan Raja Taifun dari Kerajaan Bayu. Sancaka lantas menjelma sosok Gundala yang mampu memancarkan geledek dari tangan dan berlari secepat kilat.
Oleh Joko, narasi tersebut diobrak-abrik. Cerita Gundala versi film terlihat muram, nelangsa, tapi lebih realis. Menariknya, Joko menggunakan anak-anak sebagai simpul pembentuk cerita dalam semesta Gundala.
Anak-anak dalam Gundala tidak digambarkan sebagai sosok polos, periang, rajin belajar, alih-alih sekumpulan bocah dengan trauma, pengalaman kehilangan, penyiksaan, serta nasib yang tragis.
Sancaka kecil (Muzakki Ramdhan), misalnya, sudah tumbuh sebatang kara. Ayahnya, seorang aktivis buruh, tewas ditikam saat bentrok dengan aparat. Tak lama setelah itu, Sancaka ditinggal ibunya kerja di kota lain dan tak pernah kembali. Hal inilah yang memaksa Sancaka bertahan di belantara dunia yang kejam. Demi sesuap nasi, ia menjadi pengamen jalanan, buruh kasar pelabuhan, hingga satpam. Tak jarang, Sancaka bahkan sampai mempertaruhkan nyawanya karena sering jadi target kekerasan oleh bandit-bandit muda.
Seperti Sancaka, masa kecil sang antagonis, Pengkor (Bront Palarae), juga tak kalah memprihatikan. Pengkor lahir dari keluarga kaya. Akan tetapi, privilese itu tak berlangsung lama. Ayahnya difitnah telah membunuh seorang pekerja setelah menolak mengubah sistem kerja yang dinilai tak manusiawi di perkebunan miliknya. Keluarga Pengkor pun jadi sasaran amuk massa: rumahnya dibakar, orangtuanya dibunuh.
Pengkor dititipkan ke panti asuhan yang terkenal kejam yang sering membunuh atau memperdagangkan anak. Namun, nasib nahas itu tidak jatuh pada Pengkor. Ia justru memobilisasi anak-anak panti yang lain untuk memberontak dan membunuh para penjaga dengan sadis.
Dua realitas itulah yang pada perkembangannya turut berperan membentuk karakter Sancaka dan Pengkor di usia dewasa. Sancaka jadi superhero yang masih dibayangi masa lalu, sementara Pengkor jadi mafia yang berupaya menciptakan tatanan sosial tersendiri dengan mengacaukan situasi sosial.
Anak-anak mengisi origin story dalam Gundala. Sebuah pernyataan sikap bahwa kenyataan yang pahit bisa menimpa siapa saja, tak terkecuali bocah. Formula semacam itu sebetulnya sudah lazim diterapkan di film-film superhero Hollywood. Peter Parker (Spider-Man) dan Bruce Wayne (Batman), misalnya, adalah superhero yang kehilangan orangtua ketika kecil.
Tapi, Gundala adalah kasus unik, mengingat belum banyak film Indonesia hari ini yang menempatkan karakter anak dalam kondisi serba sulit.
Hal-hal itulah yang menjadikan jalan cerita Gundala lebih kaya. Sejak mula, Joko sudah terlebih dahulu memperkuat penokohan—dengan segala latar belakangnya—sehingga pilihan-pilihan yang diambil masing-masing karakter terasa punya alasan kuat.
Superhero Kelas Pekerja
Saya bisa menyebutkan beberapa hal yang membuat
Gundala wajib Anda tonton. Koreografi laga yang memukau, sinematografi ciamik, musik latar dan penggunaan efek visual yang pas. Tak ada yang berlebihan di
Gundala.
Materi cerita Gundala juga cukup solid. Joko menyelipkan unsur-unsur politik dalam semesta Gundala; tentang serikat buruh yang melawan buruknya sistem kerja di pabrik, anggota dewan yang gampang dibeli, serta rusaknya keadaban masyarakat.
Yang juga menarik adalah masuknya narasi oligarki politik lewat karakter Pengkor. Sepanjang film, Pengkor membajak amarah masyarakat miskin, memelihara ribuan anak yatim untuk dijadikan tukang pukul. Pengkor bahkan sukses membeli mayoritas anggota DPR. Karakter lord of misrule ini juga terus mendestabilisasi tatanan sosial demi kepentingannya sendiri—menciptakan tatanan dunia baru tanpa moral.
Kota yang dihuni para karakter Gundala adalah kota besar yang disfungsional. Secara konsisten Joko membangun atmosfer yang gelap, kumuh, sumpek, dan penuh kekerasan. Polisi hanya eksis untuk mematahkan demo-demo buruh. Preman-preman dikerahkan untuk mengusir pedagang pasar dan membakar lapak-lapak mereka. Anak-anak jalanan menggebuk satu sama lain. Sementara orang-orang kaya manipulatif dan tak dapat dipercaya.
Lingkungan inilah yang membentuk pribadi Sancaka. Tapi, bukan berarti tak ada harapan. Lingkungan yang sama mempertemukan Sancaka dengan kawan-kawan setia, salah satunya aktivis pengorganisir pedagang pasar bernama Wulan (Tara Basro) yang kebetulan tinggal di samping rumahnya dan kerap kali diteror preman.
Tampilan Gundala pun unik. Kostumnya terbuat dari bahan-bahan yang ditemukan Sancaka di lingkungan pabrik. Singkatnya, tumbuh dari lingkungan sekitar pabrik, besar di jalanan, Gundala ditasbihkan sebagai superhero kelas pekerja. Ia bergerak di antara para pedagang pasar, buruh pabrik, hingga lumpenproletariat (ditampilkan sebagai para preman yang akhirnya tobat). Para mereka-mereka inilah agensi perubahan sosial terletak—dengan Gundala sebagai katalis.
Bukan berarti gambaran heroik di ujung kisah itu tak punya masalah. Gundala masih mewarisi problem film-film Indonesia yang tingkat kesabarannya hanya sampai di tengah cerita lalu berlari terbirit-birit menjelang akhir. Walhasil, ada hal-hal yang tak tuntas terjelaskan. Kok bisa, misalnya, warga yang setiap harinya ribut dan saling serang tiba-tiba bersolidaritas dengan begitu cepatnya?
Menebus Pelupaan Massal
Bila ada yang bertanya siapa sosok superhero lokal, nampaknya yang muncul di ingatan adalah Panji Manusia Milenium dan Saras 008, yang sempat
booming di dunia televisi pada era 2000-an. Praktis, jarang ada yang mengenal Gundala, apalagi Godam, Maza, hingga Jin Kartubi.
Belakangan, Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 mengingatkan penonton bahwa ada banyak karakter superhero lokal yang terlupakan. Wiro Sableng bukan satu-satunya. Yang lainnya adalah Si Buta dari Gua Hantu dan banyak lagi yang muncul dari jagat film silat Indonesia lawas.
Tidak ada yang bisa disalahkan, memang, ketika masyarakat jarang mengetahui ada karakter-karakter superhero di Indonesia—dan pernah dirayakan. Jika dirunut, kepopuleran superhero Hollywood dan krisis film Indonesia memasuki dekade 1990-an mungkin memang telah mengikis ingatan kolektif tentang superhero yang diangkat dari komik-komik lokal itu.
Joko Anwar berusaha menebus pelupaan massal itu lewat Gundala. Menariknya lagi, Gundala bukan satu-satunya superhero lokal yang bakal ditayangkan di layar lebar. Rencananya, Gundala menjadi pintu pembuka lahirnya Jagat Sinema Bumilangit—semacam Marvel Cinematic Universe (MCU)—yang berisi jagoan-jagoan lokal macam Aquanus, Cempaka, Virgo, Merpati, sampai Mandala. Dalam kurun waktu beberapa waktu ke depan, para pahlawan itu akan menghiasi layar sinema Indonesia.
Lewat Gundala kita bisa mengharapkan perubahan karakter narasi apolitis superhero Indonesia lawas (yang dibuat ketika kekuasaan Orde Baru ada di puncak) menjadi lebih politis dan mampu merespons konteks sosial. Akankah harapan itu terwujud dalam proyek-proyek Jagat Sinema Bumilangit selanjutnya?